Etika Gaji Wartawan

 ''Saat pulang nanti silahkan buka Google. Lalu cari kode etik jurnalistik,''.

Itulah pesan salah satu pengurus PWI Jawa Tengah, saat saya dan pengurus PWI Bojonegoro berdiskusi dengan mereka. Pada kunjungan ke Kantor PWI Jawa Tengah 25 Febaruari lalu. Salah satu yang dibahas dalam pertemuan singkat itu adalah kode etik wartawan atau jurnalis.

Diakui atau tidak, banyak wartawan belum membaca kode etik itu. Padahal, itu adalah rambu-rambu wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Susah dibayangkan bagaimana sikap wartawan yang tidak paham kode etik.

Dalam kunjungan itu kami juga banyak memperoleh tambahan pengetahuan. Diantaranya, dimana-mana masalah kewartawanan itu sama. Baik di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah. Yakni,muncul banyak wartawan yang tidak jelas kualitasnya. Munculnya bak jamur di musim hujan. Terus bertumbuh.

''Dulu awal saya jadi wartawan, di Pemprov (Jetang) itu hanya ada 15 wartawan. Saat ini sepertinya ada 500 lebih,'' ujar salah satu pengurus PWI Jateng itu.

Sebanyak 500 wartawan itu dari berbagai macam. Ada wartawan sungguhan, wartawan tidak sungguhan, dan wartawan tidak jelas. Semuanya tumpek blek mengaku wartawan sungguhan.

Parahnya lagi, wartawan yang tidak jelas asal-usulnya itu pada berebut ikut uji kompetensi wartawan (UKW). Diantara mereka ada yang bisa menjadi peserta UKW dan lulus dengan nilai baik.

Namun, masalah tidak selesai di situ. Mereka yang lolos UKW bukan jaminan memiliki kualitas yang bagus. Banyak wartawan yang sudah lolos UKW tapi etikanya dalam menjalankan tugas jauh panggang dari api. Ini menjadi persoalan serius.

UKW memang menjadi kewajiban wartawan. Di situlah kemampuan teknis wartawan bisa diukur. Apakah si wartawan itu kompeten atau tidak dalam menjalankan tugasnya? Namun, masalah etika menjadi hal yang sulit diukur. Banyak wartawan yang sudah UKW, tapi ya itu, etikanya buruk. Suka mengintimiasi, tulisanya tidak berimbang, partisan, dan hanya suka rilisan.

Masalah wartawan suka rilis itu juga menjadi perhatian serius di wilayah Jateng. Pada dasarnya rilis itu dibolehkan. Namun, sebagai wartawan mereka harus memiliki insting menelisik lebih jauh. Benar tidak data rilisan itu? Seberapa akurat informasi rilisan itu? Hal itu menjadi penting di tengah ketidaktahuan wartawan akan kode etik jurnalistik. 

Saat seminar pers PWI Jatim pertengahan Januari lalu mengupas hal menarik. Yakni, gaji wartawan. Gaji wartawan ini sering tidak pernah menjadi tipik bahasan. Padahal, gaji wartawan adalah masalah serius. Bahkan, lebih serius dari karya jurnalitistik si wartawan. 

Wartawan tanpa gaji yang memadai tidak akan bisa menghasilkan produk yang bagus. Bagaimana mungkin wartawan bisa bertugas dengan tenang, mencurahkan tenaga dan pikiran, tapi perutnya lapar. Istri dan anaknya di rumah kekurangan.

Kadang saya juga heran, ada perusahaan media yang tidak menggaji wartawannya. Wartawannya pun aktif bertugas setiap hari?

Lalu darimana wartawan ini mendapatkan penghasilan?

Sebenarnya banyak yang sudah tahu darimana wartawan tanpa gaji ini dapat uang. Yakni, dari iklan. wartawan tanpa gaji ini akan lebih banyak mencari pariwara. Bahkan, kegiatan mendapatkan berita kalah dengan kebutuhan mengisi perut dia dan keluarga.

Di situlah akan timbul masalah? Wartawan sudah tidak lagi fokus berkarya. Tidak lagi kritis. Pikirannya akan terus dihantui bagaimana mencari duit yang banyak.

Idealnya wartawan itu harus digaji memadai. Minimal dua kali upah minimum kabupaten (UMK). Pemerintah harus bersikap tegas pada perusahaan media yang tidak menggaji wartawannya. Ada aturan yang jelas soal itu. Pemberi kerja harus menggaji pekerjanya. Jika tidak, maka pemerintah bisa mengambil langkah tegas. Menutup perusahaan media itu.

 


Pemerintah jangan tebang pilih. Perusahaan produk barang yang tidak menggaji sesuai UMK ditegur. Sementara perusahaan media yang tidak menggaji wartawannya, sama sekali tidak ditegur. Sikap tegas pemerintah sangat menentukan nasib wartawan. (Nurkozim)

 

Penulis Adalah Sekretaris PWI Bojonegoro

Komentar

Postingan Populer