Wartawan Karbitan

Semakin lama jumlah media pers semakin banyak. Khususnya online. Sebab, jenis media inilah yang ongkosnya ringan. Dibanding jenis media lain yang ongkosnya luar biasa besar. 

Sebut saja televisi. Hingga detik ini belum banyak orang membuat media jenis ini. Juga radio dan koran. Pelakunya minim sekali.

Menjamurnya media online menunjukan bahwa profesi pekerja pers banyak diminati. Lini bisnis di media pers dianggap sangat menjanjikan.

Saya sendiri sudah tidak bisa menghitung lagi banyaknya wartawan di Bojonegoro. Tua hingga muda semuanya ada. Puluhan bahkan ratusan jumlah mereka.

Uniknya, para wartawan yang tua itu sebagian besar adalah junior saya. Artinya saya lebih dulu bergelut di media pers dibanding mereka. Usia boleh lebih tua, tapi mereka baru terjun ke media pers akhir-akhir ini. 

Tepatnya sejak harga domain dan hosting website semakin murah. Sejak sinyal internet semakin kuat dan menjangkau mana saja. Sejak WhatsApp (WA) semakin mudah diakses. Sejak itu pelaku pers online kian menjamur.

Sayangnya banyaknya pelaku pers itu tidak diimbangi dengan kualitas yang baik. Rata-rata mereka terjun ke dunia jurnalistik dengan kemampuan minim. Banyak yang belum memahami betul kaidah penulisan jurnalistik. Etika wawancara dan penelusuran data. Apalagi undang-undang pers. Sangat jauh dari itu. Pemahaman terhadap ejaan bahasa Indonesia (EBI) juga sangat rendah.

Mereka terjun ke lapangan tanpa bekal sama sekali. Kerap saya bertanya latar belakang mereka. Rata-rata mereka bukan jebolan perguruan tinggi. Bukan diploma bukan pula sarjana. Bahkan, ada yang sama sekali tidak mengenal bangku kuliah.

Uniknya lagi mereka tidak suka membaca buku. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka menyajikan tulisan pada masyarakat. Padahal, mereka sendiri tidak gemar membaca.

Sebelum terjun ke dunia jurnalistik, mereka berasal dari berbagai pekerjaan. Mulai rentenir, sales, tukang parkir, dan lainnya. Mereka gagal di bidang itu. Akhirnya mereka masuk ke dunia jurnalistik. Mungkin mereka menganggap jurnalistik penuh gemilang uang. Bisa dengan mudah mendapatkan uang.

Diantara profesi lain, jurnalis adalah profesi yang lebih bergengsi. Bagaimana tidak, jurnalis bisa akrab dengan berbagai kalangan. Kaya, miskin, pejabat, politisi, hingga rakyat biasa semuanya akrab. Profesi lain tentu tidak bisa akrab dengan mereka-mereka ini.

Keakraban jurnalis dengan berbagai kalangan itu kaitannya dengan profesinya. Mereka adalah narasumber yang kredibel. Untuk mendapatkan informasi dan data. Data itu kemudian dioleh menjadi berita yang layak untuk masyarakat.

Sebelum terjun ke lapangan, wartawan dibekali dengan berbagai ilmu. Tentunya oleh perusahaan media tempat mereka dinaungi. Bekal-bekal itu berupa teknik wawancara, memotret, mendapatkan data, dan teknis menulis. Bahkan, juga ilmu melobi agar informasi yang didapatkan eksklusif. Semakin ekskulisf informasi semakin mahal harganya.

Wartawan adalah profesi mentereng. Dekat dengan semua kalangan. Wartawan adalah kalangan terpelajar. Sudah selayaknya profesi ini ada filternya. Bukan sembarang orang bisa masuk ke profesi ini.

Jika profesi ini terus diisi oleh wartawan karbitan, tidak bisa dibayangkan betapa buruknya dunia jurnalistik masa depan. Kuli batu yang sulit dapat pekerjaan beralih jadi wartawan. Tukang sayur yang sepi jualanya jadi wartawam. Duh.....

Kami di organisasi pers sangat membatasi jumlah anggota. Kami tidak mau menerima sembarangan wartawan. Di tengah ketidakjelasan profesi sepeti saat ini. Prinsip kami menolak 100 orang karbitan lebih baik daripada melepaskan satu orang berkualitas. Lagi pula organisasi pers bukanlah organisasi berbasis massa. Tidak dituntut memiliki banyak massa seperti partai politik.

Saya tidak menyalahkan masyarakat yang mengeluh dengan perilaku wartawan akhir-akhir ini. Ada yang mengeluh diancam dan diperas oleh wartawan. Masalah itu berawal dari sumber daya manusia (SDM) wartawan yang minim. Rata-rata mereka adalah wartawan karbitan.

Memang dilema. Membiarkan mereka juga tidak benar. Merangkul mereka juga tidak nyaman.

Mungkin memberikan pemahaman pada mereka adalah salah satu solusi. Pemahaman bahwa rezeki itu luas. Jika mereka tidak bisa menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas, pindahlah ke profesi lain. Banyak profesi yang bisa menghasilkan profit lebih banyak.

Hidup jurnalistik. (Nurkozim)

 

Penulis adalah Sekretaris PWI Bojonegoro




 

Komentar

Postingan Populer