Impian Jadi Abdi Negara

 

Saat kecil orangtua ingin menjadikan saya pegawai negeri sipil (PNS). Sebagai orang desa, memiliki anak yang jadi PNS adalah sebuah kebanggan. Bisa mengharumkan nama besar keluarga. Mengangkat harkat dan martabat. Dan yang paling penting bisa memperbaiki ekonomi.

 

Maklum, sebagian besar orang desa memang hidup sederhana (baca:miskin). Jauh dari kata mewah. Mereka mencari nafkah dengan mengharap sawah. Menjual hasil panen. Sebagian lagi berdagang. Semua penghasilan itu tidak tetap. Kadang dapat banyak. Kadang juga gagal panen.

 

Soal penampilan orang desa juga apa adanya. Baju, celana, dan sandal ya itu-itu saja. Tanpa ada fashion kekinian. Bahkan, saat hendak bekerja di sawah, yang dipakai pakaian yang khusus ke sawah. Bukan pakaian bersih dan rapi.

 

Bandingkan dengan pegawai negeri. Mereka berseragam. Bersepatu. Wangi dan rapi. Dan yang paling penting bergaji bulanan. Terhormat pula. Tidak heran orang desa begitu mengidamkan anaknya jadi pegawai negeri. Atau abdi negara. Minimal bisa dapat menantu abdi negara.

 

Beberapa kali saya ikut seleksi sebagai abdi negara. Gagal. Ikut lagi. Gagal lagi. Lalu tidak pernah ikut lagi. Terdamparlah saya di profesi saat ini : jurnalis media cetak. Di sebuah perusahaan koran terbesar di Indonesia.

 

Diakui atau tidak, sebagian besar masyarakat di negara ini masih belum sejahtera. Terutana di desa. Mereka menganggap jalan satu satunya menjadi sejahtera adalah menjadi abdi negara.

 

Memang di desa itu yang kaya sebagian besar adalah abdi negara. Saat petani kebingungan tanamannya diserang tikus, abdi negara tetap menerima gaji. Saat pedagang di desa merugi karena harga murah, abdi negara tetap menerima upah. Tak heran, kondisi itu membuat mereka mendapatkan posisi tertinggi di status sosial masyarakat desa.

 

Berbagai kelebihan itu membuat masyarakat desa berlomba-lomba menjadikan anaknya sebagai abdi negara. Tidak jarang ada yang jual harta benda untuk menyogok. Agar anaknya diterima jadi abdi negara. Tak tanggung-tanggung, ongkos yang dikeluarkan mencapai ratusan juta rupiah. Tidak selalu berhasil. Saat tidak berhasil, uang itu ludes. Jadi miskin. Tidak jadi abdi negara, harta pun habis.

 

Anggapan menjadi  abdi negara adalah jalan memperbaiki ekonomi sebenarnya salah. Saat ini tidak jarang abdi negara terlilit utang dan cicilan. Gaji bulanan bahkan minus untuk bayar cicilan.

 

Menjadi abdi negara tidak seindah yang dibayangkan orang. Meskipun saya bukan abdi negara, namun saya punya banyak kawan abdi negara. Mulai yang kelas rendahan hingga pejabat. Berbagai keluh kesah mereka kerap disampaikan ke saya.

 

Yang belum jadi abdi negara ingin jadi. Yang sudah jadi ingin naik pangkat. Yang sudah naik pangkat, ingin lagi yang lebih tinggi. Dan seterusnya. Tidak ada habisnya. Sampai masuk liang kubur.

 

Jabatan tertinggi abdi negara di kabupaten/kota adalah sekretaris daerah (sekda). Jabatan sekda ini sebagai PNS sudah mentok. Tidak bisa naik lagi di jajaran struktur PNS. Namun banyak yang masih belum puas. Maka banyak sekda yang mencalonkan diri jadi bupati. Bupati bukanlah jabatan PNS. Tapi jabatan politik. Saya yakin anda sudah banyak tahu tentang proses terpilihnya bupati.

 

Tidak ada bahagia sejati selama hidup dunia. Pun jadi abdi negara. Bahagia itu ada di dalam hati. Jadi apapun kita, bisa bahagia. Jadi apapun kita, bisa sukses.

 

Banyak profesi lain yang bisa digapai generasi muda saat ini. Jangan terbatas hanya pada abdi negara. Ini sudah tahun 2021. Jaman teknologi. Jaman modern. Rezeki Allah ada di manapun di bumi ini.

 

Orang hebat akan tetap hebat di manapun dia berada. (Nurkozim)


Penulis adalah Sekretaris PWI Bojonegoro.

Komentar

Postingan Populer